Magelang — Hidup di bawah bayang-bayang gunung berapi aktif seperti Merapi, berpadu dengan iklim tak menentu dan potensi tanah longsor, bukanlah hal mudah. Namun, SD Negeri Bumirejo 2 di Magelang membuktikan bahwa ancaman ini bisa dihadapi dengan bekal pengetahuan, keterampilan, dan nilai budaya.
Melalui program “Saparan Sekolah Tanggap, Tangkas, dan Tangguh Bencana”, sekolah ini menggabungkan kearifan lokal "Saparan" tradisi masyarakat yang sarat makna gotong royong, rasa syukur, dan saling membantu melalui pembelajaran mitigasi bencana.
Selama lebih dari sebulan, siswa menjalani enam tahap pembelajaran kreatif: PLAN, CREATE, PRESENT, ACTION, SHARING, dan CELEBRATION. Siswa belajar membuat rambu evakuasi, menanam tanaman pangan di lahan tandus, menciptakan lagu kampanye mitigasi bencana dengan bantuan teknologi AI, hingga memproduksi video edukasi.
Drama dan simulasi bencana menjadi ajang unjuk keterampilan sekaligus melatih kesiapsiagaan nyata. Siswa juga terjun langsung membersihkan saluran air, menanam sayur untuk ketahanan pangan, dan membagikan hasil panen kepada warga sekitar.
Puncak kegiatan berlangsung meriah lewat tradisi "Saparan" yang diisi tasyakuran dan pembuatan "Tumpeng'—simbol gunung dan wujud rasa syukur—yang dimaknai sebagai doa bersama agar terhindar dari marabahaya.
Menurut Kepala SD Negeri Bumirejo 2, Eko Purwanto, M.Ed, program ini bukan sekadar latihan kesiapsiagaan fisik, melainkan juga pembentukan karakter yang tangguh, inklusif, dan peduli. Apalagi, 25% siswa adalah anak berkebutuhan khusus yang turut berperan aktif dalam setiap tahap kegiatan.
Hasilnya terasa nyata: skor kesiapsiagaan siswa meningkat, keterlibatan orang tua dan masyarakat makin kuat, dan jaringan kemitraan dengan lembaga lokal berkembang pesat. Program ini juga sejalan dengan target Sustainable Development Goals (SDGs), seperti pendidikan berkualitas, kesetaraan gender, komunitas berkelanjutan, aksi iklim, hingga kemitraan global.
Ke depan, SD Negeri Bumirejo 2 di Magelang akan terus menguatkan peran kearifan lokal "Saparan" sebagai senjata budaya untuk melindungi generasi muda dari ancaman bencana, sekaligus membangun komunitas yang lebih tangguh dan bersatu.